4 WANITA TERBAIK SEPANJANG ZAMAN

Petikan asal dari laman blog:(laman http://
blog.ar.or.id/islam/index.php)
.......................................................................................................................................................
Sebuah situs membuat cerita tentang 4 wanita
terbaik sepanjang zaman yaitu:
“Sebaik-baik wanita di alam semesta ada
empat, yaitu Asiyah istri Fir’aun, Maryam
putri Imran, Khadijah binti Khuwailid, dan
Fatimah binti Muhammad.” (HR Bukhari &
Muslim)
...PROLOG...
Gelar puteri sepertinya sudah bukan sesuatu yang
“aneh” lagi saat ini, dari yang kecil-kecilan sampai
tingkat international. Di tingkat International saja
ada dua versi yang “bersaing”: Miss Universe dan
Miss World. Jangan tanya apa bedanya, soalnya
asli awak ngga tahu! Dan jangan tanya pula apa
kriterianya untuk mendapatkan gelar itu. Tetapi
konon kabarnya, para wanita itu terpilih karena
mereka “cantik” dan “cerdas”. Apa kriteria cantik
dan cerdas? Wallahu’alam, itu relative sekali,
tergantung selera siapa yang lagi jadi juri. Lepas
dari segala macam kontroversi yang sering
mengiringi acara miss-miss-an begini, ada empat
wanita yang sebenarnya paling berhak
menyandang gelar Miss Universe, atau wanita
paling hebat sejagad raya ini. Mereka bahkan
pantas untuk menyadang gelar itu tidak hanya
untuk jangka waktu setahun, tapi untuk
selamanya, sampai pasca kiamat sekalipun.
Hebatnya lagi, bukan sekedar juri yang memilih
mereka, tapi Yang Di Atas sana yang
menobatkannya. Jadi, siapa para Miss Universe
(mungkin tepatnya Misses Universe) Forever ini?
...ASIYAH...
Entah kenapa cerita tentang tokoh hebat satu ini
relatif kurang “disosialisasikan”, jadi mungkin tak
terlalu mengejutkan seandainya ternyata tidak
banyak orang yang kenal siapa Asiyah (bukan
Aisyah). Sayang sekali sebenarnya, karena
sebenarnya dia adalah wanita hebat dunia
akherat. Di dunia, Asiyah adalah istri salah satu
raja yang paling berkuasa, kaya dan perkasa
sepanjang sejarah manusia: Fir’aun. Dia juga ibu
angkat yang sangat pengasih dari salah seorang
Nabi besar: Musa A.S. Dalam ukuran “duniawi”
tidak ada yang perlu membantah “kemuliaannya”.
Tetapi kemuliaan duniawinya ini tidak lantas
membuatnya lupa diri. Di tengah gelimang harta
dan rezeki duniawi lainnya, Asiyah tetaplah
seorang wanita dengan hati yang lembut tapi
teguh. Hati lembut yang mampu menangkap
getaran “kebenaran Ilahi” yang Alhamdulilah
mengantarkannya sebagai salah satu orang
pertama yang beriman kepada Tuhannya Musa
dan Harun. Dan hatinya yang teguh membuat
keimanannya tak tergores sedikitpun walaupun
dia harus tinggal di tengah-tengah pusat
kemaksiatan dan pengingkaran kepada Allah,
bahkan menjadi pendamping hidup orang yang
dikenal sebagai pembangkang Allah terkeras
sepanjang masa. Entah berapa kali Asiyah harus
memendam sakit hati dan kejengkelannya tiap kali
melihat polah Fir’aun menantang dan
menghinaAllah . Mungkin sama jengkelnya
dengan kita terhadap publikasi kartun-kartun yang
mencemooh Rasulullah SAW, lagak “tak bersalah”
si penerbitnya, dan tingkah para pendukungnya
yang di antaranya mengatakan agar kartun itu
diterbitkan saja tiap hari selama seminggu supaya
umat Islam jadi “terbiasa”. Bedanya, saat ini kita
masih bisa mengekspresikan kemarahan kita,
sementara Asiyah harus menyembunyikannya
karena mengikuti anjuran Musa yang
mengkhawatirkan keselamatan ibu angkat yang
disayanginya. Memang bukan hal gampang
menjadi “orang suci di sarang penyamun”
macam ini. Di samping harus siap “makan hati”
terus-terusan, Asiyah pun harus melalui hari-hari
penuh perjuangan untuk tetap konsisten
walaupun begitu banyak “godaan” di sekitarnya.
Coba kalau kita ingat, berapa banyak orang yang
kita tahutelah “berubah” karena lingkungan.
Bahkan kadang kita pun merasakan sendiri betapa
sulitnya untuk tetap “konsisten” sendirian
terhadap nilai-nilai yang kita anut pada saat kita
hidup di tengah masyarakat yang menganut nilai
yang berbeda. Kalau saja bukan karena cinta
Asiyah yang begitu besar kepada Tuhannya,
mungkin pertahanannya akan runtuh.
Kenyataannya, ikatan emosional yang begitu kuat
kepada Allah lah yang membuat dia bertahan,
bahkan pada saat tersulit dalam hidupnya, yaitu
menjelang akhir hayatnya, ketika dia disiksa
dengan siksaan yang tak terbayangkan kejamnya
oleh suaminya sendiri! Hari penyiksaan itu terjadi
ketika akhirnya Asiyah mendeklarasikan dengan
lantang keimanannya kepada Allah di depan
suaminya. Deklarasi penuh emosi ini terjadi
setelah jiwa Asiyah begitu terguncang
menyaksikan pembantaian atas Masyitah, juru
sisir istana, beserta suami dan dua anak
perempuannya yang masih kecil akibat penolakan
mereka untuk mengakui Fir’aun sebagai tuhan.
“Kuperingatkan kau wahai Fir’aun dan kunyatakan
bahwa Tuhanku, Sang Pencipta, Robb-ku,
Allahku; dan Tuhanmu juga, Robb-mu, dan
Allahmu; dan Tuhan Masyitah dan anak-anak itu;
dan Tuhan langit dan bumi; adalah Allah yang
satu, yang tak seorangpun sanggup
menyamaiNya. Dia tak memiliki tandingan!!”
Harta, tahta, dan keselamatan nyawa adalah
kenikmatan duniawi yang begitu sering dikejar-
kejar manusia, bahkan dengan cara haram
sekalipun. Sebagai istri Fir’aun, Asiyah memiliki
semua itu dengan berlimpah. Tapi saat itu, dalam
kemarahannya, dia seakan telah melemparkan
semua itu ke muka Fir’aun. Akibatnya, di atas
lempengan batu yang sebelumnya dipakai untuk
membantai keluarga Masyitah jugalah Asiyah
akhirnya diikat dan ditindih dengan sebuah
lempengan batu tipis yang di atasnya dinyalakan
api. Lempengan batu tipis itu berubah menjadi
semacam setrika besar yang ditindihkan di atas
dada sang Ratu Mulia ini, yang perlahan-lahan
membakar tubuhnya. Waktu berjalan perlahan
mengantarkan Asiyah mendekati kematiannya
dengan cara yang sangat menyakitkan. Tapi
segala siksaan keji yang menyakiti tubuh dan
mengalirkan darahnya, maupun paksaan Fir’aun
agar istrinya mengakuinya sebagai tuhan, tak bisa
mengurangi sedikitpun cinta sang istri kepada
Tuhannya. “Api di atasku mulai membakar dan
menghanguskan tubuhku, tapi api cinta yang
sempurna dan tak terhingga kepada Allah
menyala-nyala dengan lebih hebat di dalam tubuh
ini.” Dan pada detik-detik akhir hidupnya, dari
bibir wanita mulia ini terucap sebuah doa dan
pengharapan kepada Rabb yang begitu
dicintainya: “Ya Allah, bangunkanlah untukku
sebuah rumah di sisiMu di surga…” Allah telah
menyaksikan perjuangan dan pengorbanan total
wanita ini, dan Dia juga memerintahkan para
malaikat untuk menjadi saksi atas ketulusan cinta
Asiyah kepada Tuhannya. Dan ketika Asiyah
mulai memejamkan mata menjemput ajalnya,
Allah memerintahkan Jibril untuk menemuinya
dan memperlihatkan kepadanya rumah yang
telah disediakan untuk wanita agung ini di surga.
Dan Asiyah pun akhirnya wafat dengan
membawa kemenangan atas seorang tiran yang
telah gagal memaksanya bertekuk lutut dan
menghianati cinta sejatinya kepada Rabb-nya.
Sebenarnya, ada beberapa versi yang agak
berbeda tentang siksaan apa yang harus
ditanggung Asiyah pada akhir hidupnya.
Sebagian menyatakan bahwa dia digantung.
Sebagian lagi menyatakan bahwa dia diikat dan
dicambuki sampai mati. Namun pada intinya,
apapun siksaan yang telah dialaminya, itu tetap
sebuah ujian yang sangat berat bagi manusia
manapun juga. Dan “keberhasilan” Asiyah melalui
ujian ini menunjukkan kepada kita apa arti “jatuh
cinta” kepada Khalik yang sebenarnya. Tidak
heran apabila nama Asiyah adalah salah satu dari
sedikit nama yang “dimuliakan” Allah dalam Al
Qur’an sebagai contoh “ideal” orang yang
beriman: “Dan Allah membuat istri Fir’aun
perumpamaan bagi orang-orang yang beriman,
ketika ia berkata, Ya Tuhanku, bangunkanlah
untukku sebuah rumah disisi-Mu dalam surga,
dan selamatkan aku dari Fir’aun dan
perbuatannya, dan selamatkan aku dari kaum
yang zalim.” - QS At Tahrim: 11
...MARYAM...
Suci sampai akhir hayat itulah Maryam, wanita
yang telah disucikan Allah, dilebihkan
kedudukannya di atas seluruh wanita pada masa
itu, dan dipilih olehNya untuk melahirkan seorang
Nabi besar dari rahimnya melalui cara yang luar
biasa. Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata,
Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah
memilihmu, mensucikanmu, dan melebihkanmu
di atas segala wanita di seluruh alam (pada masa
itu). QS Ali Imran (3): 42 Ada beberapa wanita
mulia yang disinggung-singgung dalam Al
Quran, namun Maryam lah satu-satunya wanita
yang nama panggilannya diabadikan dalam
AlQuran. Ada banyak rasul yang disebut Allah di
dalam Al Quran, tapi Isa ASlah satu-satunya rasul
yang setiap kali namanya disebut hampir selalu
diikuti oleh nama orang tuanya. Allah tidak
menyebut Muhammad ibn Abdullah, Yahya ibn
Zakaria, atau Yusuf ibn Ya'qub dalam Al- Quran,
tapi Dia berkali-kali menyebut Isa ibn Maryam.
Betapa Allah memuliakan wanita ini! But why can
she be so special before God? Untuk bisa
memahami itu, kita harus mencoba melihat diri
kita sendiri terlebih dulu. Kita, paling tidak saya
pribadi, terus terang saja terkadang masih ada
sedikit perasaan berat ketika harus mengerjakan
beberapa ibadah, seperti sholat malam, puasa,
bahkan terkadang sholat fardlu sekalipun!
Astaghfirullah…. Kalau saja bukan karena ada rasa
takut kepada Yang Maha Kuasa atau rindu akan
ridha dan syafaatNya di akherat, mungkin sudah
keteteran aja ibadah-ibadah itu. Naudzubillahi
mindzaliik….. Perasaan-perasaan semacam itu
sebenarnya bisa dijadikan bukti empirik betapa
kuatnya godaan duniawi yang kita temui sehari-
hari, dan betapa hal itu bisa mengalihkan
konsentrasi kita pada hakekat hidup kita di dunia
ini: mengumpulkan bekal yang (semoga) pantas
untuk kita tukar dengan ridha dan ampunan Allah
di akherat kelak. Kalau kita tidak tahan banting atau
takut pada sesuatu yang jauh lebih kuat dan besar
dari seluruh isi bumi dan langit ini, mungkin
hidup kita akan dipenuhi pengabaian ibadah
kepadaNya. Karena itu, sebenarnya hari-hari yang
kita lalui ini adalah hari-hari perjuangan
mengendalikan nafsu duniawi agar tidak lalai pada
keselamatan kita sendiri di akherat nanti; dan
Maryam adalah seorang wanita yang selalu
menang dalam perjuangan tersebut. Sejak kecil
hidup bagi Maryam adalah untuk mengabdi
sepenuhnya kepada Tuhannya. Sepenuhnya,
utuh, bulat-bulat. Ibaratnya, setiap tarikan
nafasnya dia lakukan dalam keadaan beribadah
dan tunduk kepada Allah. Tidak ada yang bisa
mengalihkan perhatiannya dari Tuhannya, bahkan
ketika dia mendapat ujian-ujian berat dariNya,
seperti ketika harus hamil dan melahirkan tanpa
seorang suami! Pelecehan masyarakat terhadap
kesuciannya karena peristiwa tersebut adalah
sebuah ujian yang begitu berat bagi seorang
wanita yang keseriusannya dalam menjaga
kesucian sulit dicari tandingannya. Begitu juga
ketika dia harus mendampingi perjuangan sulit
anaknya, Isa AS. Mungkin kita bisa merasakan
sendiri bagaimana kita seakan ikut sakit ketika
anak kesayangan kita jatuh dan berdarah, atau
ketika mereka meneteskan air mata karena ejekan
atau penolakan teman-temannya. Jadi bisa
dibayangkan betapa perihnya Maryam ketika
melihat buah hatinya dimusuhi, ditolak, diejek,
bahkan disakiti karena perjuangannya. Namun
karena kesadarannya bahwa semua ini adalah
demi Tuhannya yang dicintainya lebih dari
apapun, ketundukannya kepada Allah tak tergores
sedikitpun oleh ujian-ujian itu. Mencapai derajat
kekhusyukan dan ketundukan Maryam sama
sekali bukan sesuatu yang gampang. Coba kita
hitung berapa kali dalam sehari perhatian kita
teralih dari Tuhan kita, bahkan pada saat
mengerjakan sholat sekalipun! Atau berapa kali
kita mengabaikan perintahNya atau laranganNya
dengan berbagai alasan dan justifikasi? Mungkin
tak terhitung lagi jumlahnya. Jadi ketika kita
merasakan sendiri betapa sulitnya menjadi
sekhusyuk dan setunduk Maryam, dan betapa
Allah mencintai dan memuliakannya karena
ketundukannya itu, apakah aneh jika Maryam
dinobatkan menjadi salah satu Wanita Terhebat
dan Termulia se-Jagad Raya ini?
...KHADIJAH...
Sebagai istri, saya pribadi sering merasa “malu”
tiap kali berkaca pada Khadijah. Kontribusi dan
pengabdian saya terhadap suami sama sekali
tidak bisa dibandingkan dengan apa yang telah
diabdikan Khadijah terhadap suaminya. Tetapi
yang lebih memalukan, seringkali tuntutan saya
terhadap suami jauh melebihi harapan-harapan
Khadijah terhadap suaminya. She served the best
without expecting too much in return! Satu-
satunya “pamrih” yang diinginkannya adalah cinta
Tuhannya dan Utusannya. Kelihatannya macam
slogan yang gampang diucapkan ya? Tapi
dijamin tidak gampang untuk menjalankannya.
Try to stand on Khadijah’s shoes to know how
difficult it is. Marilah kita bayangkan mulai dari
contoh yang paling mudah dulu. Seandainya kita
seorang “konglomerat” yang menikah dengan
seorang penjual kelontong di pasar, siapkah kita
meninggalkan gaya hidup “borju” kita untuk
menjalani kehidupan sederhana seorang istri
penjual kelontong? Atau contoh lain, mudahkah
bagi kita menahan diri untuk tidak uring-uringan
seandainya suami sering pergi berhari-hari untuk
mengejar “idealisme”nya yang mungkin masih
sulit kita pahami, dan meninggalkan kita sendirian
mengurus anak dan membersihkan rumah?
Atau… mudahkah pula bagi kita untuk
mengorbankan kesuksesan yang telah kita
bangun dengan susah payah demi tugas suami
yang mungkin tidak menawarkan “imbalan” yang
memadai? It’s hard, apalagi jika kita merasa
bahwa selama ini “karir” dan penghasilan kita jauh
melebihi suami. Khadijah adalah seorang
pengusaha wanita yang sangat sukses dan
terhormat di kalangan kaum Quraishy dengan
kemampuan membaca pasar dan mengelola
asset yang hebat. Walaupun dia masih tetap kaya
pada masa-masa awal kehidupannya sebagai istri
seorang pedagang kecil, dia rela untuk menjalani
cara hidup yang sangat sederhana karena
Muhammad SAW, suaminya, tidak ingin
keluarganya hidup berlebihan pada saat banyak
orang lain yang masih kekurangan. Tidak ada
keluhan yang terucap dari bibirnya. Dia meyakini
kemuliaan prinsip suaminya dan rela
mengikutinya, walaupun dia harus meninggalkan
semua kenyamanan yang pernah menghiasi
kehidupannya sebelum itu. Tak pula keluhan
terucap ketika dia harus hidup bersama seorang
suami yang sering pergi menyendiri ke Jabal Nur
selama berhari-hari, meninggalkannya sendirian
mengurusi anak-anaknya. Jangankan uring-
uringan, Khadijah bahkan rela untuk menyiapkan
makanan secara teratur dan mengantarkannya
sendiri ke Jabal Nur! Jabal Nur adalah sebuah bukit
batu cadas berpasir yang sangat sulit dan
berbahaya untuk didaki; dan Khadijah telah
mendakinya berulang kali sambil membawa
makanan agar suaminya tidak kelaparan! Sepenuh
hati dia berusaha “meringankan” beban suaminya
yang saat itu sedang berusaha menemukan
jawaban atas kegalauan spiritual dan
kerinduannya yang dalam terhadap “Sesuatu”
yang menjadi sumber dari segala kehidupan ini.
Tak terhitung juga berapa kekayaan Khadijah
yang dia abdikan demi perjuangan suaminya
menegakkan kalimat “laa ilaaha illallaah”. Sebagai
istri seorang keturunan Hasyim, Khadijah bahkan
kehilangan “segalanya” ketika kaum kafir Quraishy
melakukan boikot kepada bani Hasyim dan bani
Muthalib selama tiga tahun. Kekayaannya yang
tersisa dia gunakan untuk membeli makanan
secara diam-diam bagi para pengikut Rasulullah
yang harus kelaparan karena mempertahankan
iman mereka. Walaupun dirinya seorang
pengusaha, Khadijah tak menghitung
pengorbanannya sebagai sebuah kerugian besar,
karena dia yakin bahwa dia sedang melakukan
jual-beli yang sangat menguntungkan dengan
Sang Maha Kaya. Dia rela menukar semua
kekayaan dan kesuksesannya dengan ridha
Tuhannya. Khadijah tidak hanya mengorbankan
harta dan kesuksesannya saja. Jihad Muhammad
SAW dihiasi dengan penolakan, penganiayaan,
caci-maki, bahkan ancaman pembunuhan. Dan
Khadijah tak pernah menjauh dari sisi suaminya
dalam menapaki jalan terjal itu meski
keselamatannya sendiri dan keluarganya menjadi
taruhannya. Walaupun dia ikut menanggung
“teror” mental maupun fisik dari musuh
Muhammad, Khadijah pantang menampakkan
kekuatiran dan ketakutan di wajahnya. Baginya,
kegalauan di wajah bertentangan dengan
tugasnya sebagai cahaya ketentraman bagi
suaminya. Lantas, apakah mengherankan kalau
Muhammad SAW begitu mencintai dan
menghormati istrinya ini. Beliau tak menikahi
wanita lain selama bersama Khadijah. Sayangnya,
hal ini sering “dilupakan” oleh para pengkritik
kehidupan poligami Rasulullah. Muhammad SAW
pun begitu terpukul ketika “belahan jiwanya” ini
wafat hanya beberapa saat setelah boikot
Quraishy berakhir, pada tahun yang kemudian
dikenal sebagai tahun ‘Aamul Huzni, tahun
kesedihan Rasulullah SAW. Tampaknya,
kelaparan dan beban psikologis selama masa
boikot telah menggerogoti kesehatan wanita
agung ini. Muhammad SAW mengurus sendiri
jenazah Kesayangannya ini, dan
mengantarkannya ke pembaringan terakhirnya di
Mekkah dengan sebuah kalimat perpisahan:
“Sebaik-baik wanita penghuni surga adalah
Maryam binti Imran dan Khadijah binti
Khuwailid”. Ketika telah menikah dengan istri-
istrinya yang lain sepeninggal Khadijah pun, tidak
jarang Rasulullah SAW masih diliputi kenangan
akan Khadijah yang terkadang terlontar dalam
bentuk pujian-pujian. Dan hal ini sempat
menimbulkan kecemburuan Aisyah: “Alangkah
banyak yang kau ingat tentang si pipi merah itu,
padahal engkau telah mendapatkan gantinya yang
lebih baik dari dia.” Wajah Muhammad SAW
berubah merah padam mendengar protes itu.
Dan biasanya hanya pada saat menerima wahyu
saja wajah beliau akan menjadi semerah itu. Lalu
beliau pun menjawab: “Demi Allah, Allah belum
menggantikannya dengan yang lebih baik dari
dia. Dia telah beriman kepadaku ketika semua
orang ingkar padaku, dia membenarkanku ketika
orang-orang mendustakan, dia memberikan
semua hartanya ketika orang-orang tak mau
memberiku apa-apa, dan melaluinya Allah
mengaruniakanku keturunan yang tidak diberikan
oleh istri-istriku yang lain.” (HR Ahmad) Khadijah
ternyata tidak hanya menjadi istri yang paling
dicintai Muhammad SAW. Sang Maha Agung dan
Malaikat Jibril pun mencintai wanita mulia ini.
Bahkan, melalui Jibril Allah telah menitipkan
salamNya kepada Khadijah, Subhanallah! “Wahai
Rasulullah, inilah Khadijah, ia akan datang
kepadamu dengan membawa tempat yang berisi
makanan, lauk dan minuman. Apabila dia datang
kepadamu, sampaikan salam kepadanya dari
Tuhannya dan dariku.” (HR Bukhari & Muslim,
dari Abu Hurairah) Cinta Allah kepada wanita suci
ini bahkan diwujudkanNya pula dengan sebuah
rumah permata yang disediakan untuk Khadijah
dalam surgaNya. “Aku (Muhammad)
diperintahkan untuk menyampaikan kabar
gembira kepada Khadijah tentang sebuah rumah
di surga dari permata dimana di dalamnya tiada
keributan dan kepayahan.” (HR Ahmad, Abu Ya’la,
ath-Thabrani, dari Abdullah bin Ja’far) Betapa
beruntungnya Khadijah mendapatkan cinta,
salam, dan rumah permata di surga dari
Tuhannya. Namun “keberuntungan” Khadijah ini
bukan didapatnya dengan cuma-cuma; dia
memperolehnya melalui perjuangan berat yang
dilakukannya dengan ikhlas sampai akhir
hayatnya. Hanya wanita hebat saja yang pantas
diberi salam oleh Tuhannya.
...FATIMAH...
Andaikan kita adalah putri kesayangan seorang
pemimpin nomer satu sebuah bangsa besar,
kira-kira kehidupan seperti apa yang akan kita
jalani? Mungkin bermacam bayangan terlintas di
benak kita, tapi bisa jadi tak banyak yang
membayangkan kehidupan seperti yang pernah
dijalani Fatimah Az-Zahra RA, putri kesayangan
seorang pemimpin besar yang menempati
urutan pertama tokoh paling berpengaruh di
dunia sepanjang sejarah manusia. Sejak kecil,
Putri Kesayangan ini telah akrab dengan kelaparan
yang harus dijalaninya demi cinta dan
ketaatannya kepada Tuhannya dan ayahnya.
Ketika Bani Hasyim dan Bani Muthalib diboikot dan
dikucilkan oleh kaum Quraishy, mereka harus
melalui hari-harinya selama tiga tahun dalam
kelaparan. Diriwayatkan bahwa naluri keibuan
Khadijah begitu perih melihat putri kecilnya
kelaparan, “Kasihan engkau anakku, dalam usia
begini muda engkau sudah harus merasakan
penderitaan seberat ini.” Namun, tak disangka, si
kecil menjawab, “Aku tidak apa-apa Bu, justru
kami lah yang kuatir akan keadaan ibu.” Kalimat
mengagumkan ini meluncur dari bibir mungil
gadis cilik berusia lima tahun. Ketika mulai dewasa
pun “peruntungan materialnya” tidak berbeda.
Fatimah dinikahkan dengan seorang pemuda
miskin yang hanya bisa memberikan baju
besinya sebagai mas kawin. Hanya saja,
suaminya ini dikenal sebagai salah satu hamba
Allah yang paling luas ilmunya, paling mula
memeluk Islam, dan paling tinggi derajatnya di
hadapanNya, bahkan telah dijamin masuk surga
lewat jalur cepat sebagaimana istrinya. Fatimah
juga telah mengenal Ali, suaminya, sejak kanak-
kanak karena mereka tumbuh bersama dalam
asuhan Muhammad dan Khadijah. Kehidupan
Fatimah sebagai anak pembesar memang
tergolong “unik”. Dia tak mempunyai pembantu
karena memang tak sanggup membayarnya. Dia
menumbuk gandum sendiri tiap hari sampai
tangannya lecet dan bajunya lusuh karenanya. Ali
yang tidak tega melihat “penderitaan” istrinya
menyuruh Fatimah menemui ayahnya untuk
meminta seorang pembantu. Tapi Muhammad
SAW, yang tidak ingin melihat ada anggota
keluarganya hidup berlebih selama masih ada
orang lain yang kekurangan, tidak
mengabulkannya. Sebagai gantinya, ayahnya
mengajarkan doa kepadanya agar dia dikuatkan
dalam menghadapi hidup ini. Ketika dia sakit
Rasulullah menjenguk, “Apa yang kau rasakan
anakku?” Putrinya menjawab, “Sakit ayah… dan
aku juga merasa lapar karena tak ada makanan
untuk dimakan.” Rasul menangis mendengarnya
dan membesarkan hati putrinya, “Puaskah
engkau anakku menjadi pemuka seluruh wanita
di alam ini?” Ketika ada seorang pengembara
miskin mendatangi Rasul untuk meminta
sedekah, Rasul menyuruhnya meminta kepada
Fatimah karena beliau tidak punya apa-apa lagi
saat itu untuk disedekahkan. Fatimah sebenarnya
juga tak memiliki apa-apa untuk disedekahkan,
sebelum akhirnya dia teringat pada kalungnya
dan lantas memberikannya begitu saja kepada si
pengembara sebagai sedekah. Nampaknya Allah
begitu ridha padha keikhlasan Fatimah, sehingga
akhirnya kalung itu bisa kembali kepadanya
setelah Abdurrahman bin Auf membelinya dari si
pengembara dan memberikannya kepada Rasul
beserta seorang budak, dan Rasul lantas
memberikan kembali kalung itu ke Fatimah
beserta budak pemberian Abdurrahman. Fatimah
menerima kembali kalungnya dan membebaskan
budak itu walaupun sebenarnya dia sangat
membutuhkan seorang pembantu. Buah dari
kedermawanan dan keikhlasan putri miskin ini
telah menolong seorang pengembara miskin,
membebaskan budak, dan mengembalikan
kalung satu-satunya kepadanya. Apakah Fatimah
membenci dan berontak kepada ayahnya karena
merasa telah dijerumuskan dalam kehidupan sulit
ini? Tidak sama sekali! Sebaliknya, cintanya begitu
besar kepada ayahnya karena dia sangat meyakini
kebenaran dan kemuliaan prinsip ayahnya. Dialah
putri yang dengan menangis dan penuh kasih
membersihkan kotoran dari kepala ayahnya
akibat lemparan benda najis musuh-musuhnya.
Dia juga yang bersama ayahnya membersihkan
kotoran-kotoran najis yang dilemparkan ke
rumah mereka. Fatimah pula yang menurut
Aisyah RA paling menyerupai ayahnya dan paling
dicintai ayahnya. Dia adalah putri yang menangis
begitu pedih ketika menyadari malaikat maut telah
mendatangi ayahnya, namun tersenyum bahagia
ketika ayahnya membisikkan ke telinganya bahwa
dialah anggota keluarganya yang pertama kali
akan “menyusulnya.” Dialah salah satu wanita
yang telah dinobatkan sebagai sebaik-baik wanita
di seluruh jagad raya bersama ibundanya,
Khadijah, Maryam, dan Asiyah… Bisa jadi
kehidupan Fatimah ini (dan juga ayahnya)
dianggap sebagai sebuah kekonyolan oleh
mereka yang memandang bahwa hidup di dunia
adalah kehidupan yang sebenarnya. Dia memiliki
banyak kesempatan untuk hidup lebih enak, tapi
dia tak mengambilnya. Namun, mereka yang
tahu bahwa kehidupan di dunia bukan titik akhir
dari kehidupan ini akan kagum pada cara hidup
Fatimah yang begitu luar biasa, dan bagaimana
dia akhirnya mendapatkan ridha dan cinta dari
Sang Pemilik Kehidupan ini karenanya.
...EPILOG...
Wanita-wanita mulia ini memiliki
“kecantikan” yang hakiki, karena wajah
mereka mampu membuat orang-orang di
sekitarnya merasa begitu nyaman dan
tentram. Mereka juga memiliki
“kecerdasan” yang hakiki, karena mereka
tahu pasti bagaimana cara menyelamatkan
diri dari siksa pedih “kehidupan” yang
sebenarnya nanti, dan mereka berhasil
mengikuti cara itu dengan konsisten.
Karena itu, merekalah para wanita yang
sebenarnya paling berhak menyandang
predikat Miss Universe Forever karena
kecantikan dan kecerdasan hakiki yang
mereka miliki.
Sebenarnya mereka pulalah yang paling pantas
untuk kita jadikan model ideal seorang wanita.
“Sebaik-baik wanita di alam semesta ada
empat, yaitu Asiyah istri Fir’aun, Maryam
putri Imran, Khadijah binti Khuwailid, dan
Fatimah binti Muhammad.” (HR Bukhari &
Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar